”ROBOHNYA SURAU KAMI”
I.PENDAHULUAN
Sastra memainkan peranan penting di dalam
mengungkapkan persoalan dan pergelutan kehidupan sosial sebuah masyarakat.
Karya-karya sastra dapat dijadikan sebagai suatu wadah untuk mendidik dan
memberdayakan pemikiran masyarakat supaya menjadi lebih kritis dan peka akan
lingkungan sosialnya. Sastra juga dapat memainkan peranan untuk membuka pikiran
dan menyemai kesadaran yang lebih luas dan mendalam terhadap perkara-perkara
dalam kehidupan. Oleh karena itu, sastra seringkali mengungkap dan mencatat
pemikiran, nilai dan aksi manusia di dalam masyarakat. Dari sastra juga kita
dapat membongkar segala aspek kemanusiaan yang tersirat di dalam kehidupan
sehari-hari.
Cerita
pendek ”Robohnya Surau Kami” adalah
salah satu contoh karya sastra yang pesan moralnya masih relevan diperbincangkan
hingga saat ini. Cerita pendek ini ditulis oleh sastrawan Indonesia, yang
bernama Ali Akbar Navis (atau singkatnya A.A.Navis) yang diberi julukan ”sang
pencemooh” karena gaya menulisnya yang sinis dan satiris.
Cerita
pendek ini pertama kali diterbitkan dalam majalah sastra, Kisah, pada tahun
1955. Pada tahun yang sama, terpilih sebagai salah satu cerita pendek terbaik
dan mendapat hadiah dari majalah tersebut. Semenjak itu, cerita pendek ini telah
dibahas di seluruh Indonesia dan membangkitkan suatu wacana keagamaan di
Indonesia.
Cerita pendek ini mengisahkan tentang seorang kakek, seorang garin (penjaga
surau) yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Baginya bukan suatu
masalah jika ia tidak berkeluarga, hidup sendiri tanpa istri yang berada di
sisinya saat suka dan duka atau keturunan untuk disayangi dan dikasihi.
Menyembah dan mewartakan nama Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya.
Ini sudah menjadi keputusan si
kakek, bukan karena dorongan orang lain atau keadaan yang memaksanya demikian.
Baginya memukul beduk mengingatkan orang lain untuk sembahyang, membaca
ayat-ayat suci di Kitab dan memuji nama Tuhan jauh lebih penting daripada
kekayaan dan rumah yang megah. Intinya, hidupnya hanya berkisar pada Tuhan,
termasuk menjaga surau yang ada di desanya tersebut.
Sebagai tokoh antagonis adalah
Ajo Sidi. Keberadaannya di desa itu populer karena dia pintar membuat banyak
kisah dengan karakter orang di desa itu menjadi inti ceritanya. Orang mungkin
menyebutnya si pembual namun, karena sejak dahulu manusia selalu tertarik
dengan kisah-kisah menarik, orang-orang desa tetap mendengarkan bualan Ajo Sidi
tersebut. Kali ini yang menjadi tokoh cerita Ajo Sidi adalah karakter yang
digambarkan si kakek penjaga surau.
Dia mengisahkan seorang yang,
seperti halnya si kakek, menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Tokoh ini, yang
diberi nama Haji Saleh, sangat meyakini bahwa tiada tempat baginya di akhirat
selain di surga. Dengan penuh percaya diri dia menunggu gilirannya untuk ikut
rombongan yang masuk ke surga sambil mencibir pada mereka yang masuk ke neraka.
Inti terpenting dari cerita pendek
ini dibuat dalam bentuk dialog menarik antara manusia percaya diri dengan Tuhan
sendiri. Dalam setiap percakapan kita bisa melihat dan merasakan sedikit demi
sedikit Haji Saleh mulai kehilangan kepercayaan dirinya padahal apa yang
ditanya oleh Tuhan hanyalah apa yang dikerjakannya selama dia hidup.
Haji Saleh dimasukkan ke
neraka, bahkan di saat-saat akhir interogasi Tuhan pun dia sudah merasakan hawa
panas di tubuhnya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia yang selama hidupnya
hidup untuk Tuhan bisa berada di tempat yang seharusnya, menurutnya, untuk
orang-orang yang tidak beribadah dan mengenal Tuhan. Dan dia bukan satu-satunya.
Merasa bingung dan tidak puas dengan pengaturan tersebut, Haji Saleh dan
sekelompok orang yang berpikiran sama pun kembali menghadap Tuhan. Sekali lagi
terjalin percakapan menarik dan kali ini Tuhan menjelaskan mengapa bukan surga
yang layak untuk mereka tempati.
Sang kakek marah setelah
mendengar cerita dari Ajo Sidi, karena ia merasakan bahwa kisah Haji Saleh
sebenarnya menyinggung dirinya sendiri dan yang sangat mengejutkan adalah ia
bunuh diri dengan menggorok lehernya menggunakan pisau cukur yang diasahnya.
II.PEMBAHASAN
Cuplikan dialog antara Tuhan
dan Haji Saleh berikut ini merupakan pesan moral yang ingin disampaikan melalui
cerita pendek ini:
"....kenapa engkau biarkan dirimu melarat,
hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau
semuanya beramal walau engkau miskin. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk
disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai
malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.
(Navis,
1986:11-12)
Pernahkah terlintas dalam
benak anda, jika anda percaya akan keberadaannya, seperti apakah neraka itu?
Orang seperti apa yang masuk ke sana? Kenapa orang masuk ke sana? Ibadah dan
agama adalah salah satu bagian utama dari kehidupan bangsa kita Indonesia, jadi
sejak kecil istilah surga dan neraka bukanlah hal yang asing bagi telinga kita.
Cerita pendek ini sedikit
banyak memberikan pandangan akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bahkan lebih jauh
lagi, menegur kita manusia yang sepertinya lupa hal terpenting dalam beragama
tersebut. AA Navis sepertinya melihat kecenderungan yang mengarah pada keadaan
ini dan menuangkannya dalam sebuah kisah yang tidak lekang oleh waktu.
Dalam cerita pendek ini, AA
Navis secara kritis menyoroti arti beragama dalam masyarakat, yang hanya
sebatas solat, mengaji, puasa, dan naik haji. Kita diajak untuk menilai kembali
cara kita memahami tuntunan agama. Dalam pola pikiran tradisional,
ibadah-ibadah hanya diartikan seputar empat hal yang telah disebut di atas dan
mengabaikan bidang-bidang kehidupan yang lain. Melalui cerita pendek ini
pemaknaan ibadah diperluas, sehingga usaha memakmurkan bumi dan lingkungan
sosial juga merupakan suatu ibadah. Bekerja juga adalah ibadah.
Sebagai
kelanjutan dari persoalan ibadah, di sini kita juga dihadapkan pada persoalan
tentang bagaimana melihat ’kealiman’ seseorang. Sangat ironis sekali ketika
kita mengetahui bahwa orang yang dianggap alim (dalam pemikiran masyarakat
tradidional) justru dimasukkan ke dalam neraka. Menurut cerita pendek ini,
’dosa’ Haji Saleh yang paling besar adalah mengabaikan tanggungjawab sosialnya.
Dengan kata lain, jika kesalehan dan ibadah-ibadah itu hanya untuk mendapat
pahala dan keselamatan diri sendiri di akhirat, tanpa memikirkan hak-hak orang
lain, maka hal tersebut tidaklah bermakna. Karena hal tersebut merupakan bentuk
keegoisan manusia yang mementingkan dirinya sendiri, maunya saleh sendiri,
masuk surga sendiri tanpa mau melihat sekitarnya, bahwa masih begitu banyak
kebodohan, kemiskinan, dan kejahiliahan.
Kita
juga dapat mengartikan bahwa kakek dan suraunya menyimbolkan sesuatu dalam
masyarakat. Jika surau itu menyimbolkan institusi agama, maka kakek dapat
dikatakan sebagai pemuka agama itu sendiri, yang bertanggungjawab memperbaharui
kerelevanan institusi agama dalam masyarakat. Agar tetap mampu dijadikan tolok
ukur dalam memecahkan persoalan-persoalan yang tejadi dalam masyarakat.
Sehingga institusi agama bisa tetap hidup dalam masyarakat yang terus berubah,
jika tidak maka institusi agama itu perlahan-lahan akan pupus, seperti judul
cerita pendek ini, robohnya surau kami.
Hal
yang tidak kalah pentingnya, yang ingin disampaikan melalui cerita pendek ini
adalah rasa nasionalisme terhadap negara kita, Indonesia. Dikatakan dalam
cerita pendek itu, bahwa negeri Indonesia sangat subur tanahnya, tapi kita
dijajah begitu lama, dan tak ada satu pun yang kita lakukan untuk merebutnya.
Kita malah bermalas-malasan dan berkelahi antar sesama. Dan kekayaan alam yang
seharusnya dapat dinikmati rakyat Indonesia malah dinikmati oleh negara lain.
III.PENUTUP
Keegoisan manusia digambarkan
AA Navis sebagai hal yang membuat beberapa orang bernasib bertolak belakang
dengan harapan mereka. Tuhan
menciptakan manusia untuk bekerja keras di dunia yang dipersiapkannya. Hidup bersama dengan orang lain dan saling
membantu layaknya sesama manusia. Sayang ada orang yang menjadikan Tuhan
sebagai intisari kehidupan mereka dan tiada hal lain yang penting. Bahkan
mungkin saja ada orang yang rajin ibadah bukan karena kepercayaannya namun
karena rasa takut masuk ke neraka, jadi dia beribadah lebih dari orang lain
supaya bisa masuk ke surga. Mereka lupa inti terpenting dalam kehidupan
tersebut yakni beramal di samping beribadat, dan bagaimana bisa beramal ketika
mereka tidak mencari nafkah dan malah menelantarkan keluarganya demi
kepentingan diri mereka sendiri di akhirat nantinya.
Cerita pendek ini membuat kita
mempertanyakan kembali diri kita sendiri sekaligus berpikir mengapa Tuhan
bersikap seperti itu, apa yang sebenarnya salah dalam pemikiran orang-orang
seperti si kakek dan Haji Saleh. Ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri dan
walau kita menggunakan semua rasio yang kita anggap benar, AA Navis mengingatkan kita bahwa tidak
demikian adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono,
Sapardi Joko. Sosiologi Sastra.
Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2003.
Escarpit,
Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Navis, Ali
Akbar. Robohnya Surau Kami. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1986.
T Gramedia Pustaka Utama, 1986.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah meninggalkan komentar ^_^