Sabtu, tanggal 5 Mei lalu saya
mendapat berita duka dari Bapak. Bapak mengabarkan kalau Bu Handoko meninggal
dunia (beliau
meninggal di usia 88 tahun), Bapak tahu kabar itu dari Koran, saat itu ada di rumah duka dan esoknya
akan dikebumikan di Lasem, Rembang. Saya mengenal Bu Handoko sekitar tahun
2000, waktu itu saya masih kuliah. Bu Handoko adalah guru saya, di sela-sela
perkuliahan saya mengambil kursus kecantikan/salon. Waktu itu sih yang maksa
bapak, kata beliau supaya anak perempuan punya ketrampilan, jadi semisal nanti
tidak diperbolehkan oleh suami (jika sudah menikah) untuk bekerja di luar
rumah, bisa bekerja di rumah, dalam hal ini buka salon. Sebenarnya sih disuruh
kursus jahit juga, tapi berhubung mata sudah minus, ntar malah tambah parah.
Balik lagi ke Bu Handoko, pertama
kali bertemu beliau, beliau sudah berumur 75 tahun. Jangan dibayangkan kalau
beliau seusia itu dalam posisi embah uti yang ringkih ya, justru sebaliknya,
beliau masih segar bugar dan enerjik. Ya, enerjik adalah kata yang paling tepat
untuk beliau. Bayangkan saja seusia itu masih belanja ke pasar sendiri, bukan
hanya pasar mrican dekat rumah tapi kadang sampai pasar johar lo, yang notabene
agak jauh. Itu pun naik angkot sendiri, ih kebayang gak sih kalo ada apa-apa
dengan beliau. Karena itu ketika sedang dan
setelah ‘lulus jadi’ muridnya, saya masih menemani beliau untuk ke pasar johar,
gak tega menolak.
Selain membuka kursus kecantikan,
menjahit dan rias pengantin (beserta buat baki lamaran), beliau juga masih
aktif lo dengan salonnya walau pun pelanggannya sudah banyak yang berkurang.
Kebanyakan pelanggan meminta pelayanan facial, karena memang produk untuk kulit
beliau oke punya. Beliau punya resep khusus sejak dulu (di dapat ketika
sekolah), untuk meramu resep itu beliau meminta bantuan seorang apoteker.
Sempat bertanya mengapa memakai apoteker. Jawaban beliau, “karena apoteker
sudah disumpah (seperti dokter)”, jadi resep beliau tidak bakalan bocor. Hmmmm….kesannya
“Cina” banget kah? (Mohon maaf yang
beretnis Chinese, tidak bermaksud menyinggung). Memang Bu Handoko keturunan
Tionghoa, ber-ayah Chinese (kata beliau asli dari Negeri Cina) dan ber-ibu
orang Jawa, tepatnya Lasem, Rembang.
Beliau hidup sendiri karena
suaminya sudah lama meninggal dunia. Ketika saya menanyakan tentang anak-anak
beliau, semakin saya berdecak kagum, karena putra-putri beliau bisa saya sebut “sangat
sukses”. Tetapi kenapa beliau malah
memilih hidup sendiri? Karena beliau merasa masih bisa melakukan apa pun
seorang diri. Untuk bersih-bersih ada pembantu pocokan yang datang setiap hari,
untuk makanan biasa diantar rantangan dari rumah salah satu anak beliau yang
berdomisili dekat rumah. Dalam pikiranku sih, kan enak ikut anak saja, apalagi
anak-anak beliau tergolong mampu. Sepertinya beliau lebih menikmati tetap
bekerja, tetap berkarya.
Dan untuk apa beliau bekerja toh
sudah tidak ada tanggungan. Ini nih yang buat ngiler, uang yang beliau
kumpulkan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Sedap banget kan. Sempat berkhayal
nanti bapak ibu kalo udah pensiun kalau bisa kayak gitu juga ah. Biar mereka
senang-senang, menikmati hasil kerja selama ini.
Beliau juga sangat menjaga
makanan, general check up dilakukan
rutin, tidak pernah mengonsumsi junk food. Ketika beliau berulang tahun
ke 80, saya beserta orang tua diundang ke perayaannya. Karena anak-anak beliau
ingin merayakan secara besar-besaran sebagai wujud syukur beliau masih diberi
kesehatan. Waktu itu saya dapat door
prize kompor gas loh hehehe Alhamdulillah. Waktu pernikahanku, Bu Handoko datang di malam midodareninya, menghadiahkan dompet cantik untuk pesta. So feminin pokoke.
Mengenal Bu Handoko membuat saya
malu pada diri sendiri, saya masih muda (ketika itu :P) tapi suka sekali
bermalas-malasan. Sedangkan beliau yang sudah sepuh saja masih begitu
bersemangat dalam berkegiatan. Saya menyebutnya ‘semangat hidup tinggi’. Di
sela-sela kegiatan kursus dan melayani pelanggan salon, beliau masih sempat
membuat baju sendiri, masih sempat melakukan kristik (benar gak ya tulisannya)
hebatnya kristik ini bisa berbentuk pemandangan alam padahal beliau tidak
meniru gambar, masih sempat merajut membuat benda-benda mungil, dan melakukan
banyak hal yang berguna ‘hanya’ untuk menghabiskan waktu. Waaah…jauh banget
sama saya, kalau senggang enakan jalan-jalan atau nonton tivi dan kegiatan lain
yang tidak menghasilkan (kadang malah milih molor wakakak). Kalau saya
bertandang ke rumah beliau, beliau ngajak bicara bahasa Inggris lo, bahkan
ketika beliau ke luar negeri, beliau selalu mencari ilmu baru, tidak hanya
sekedar jalan-jalan saja. Beliau ikutan kursus tentang kecantikan, katanya,
metode-metode baru tentang perawatan kecantikan di luar negeri sangat sayang bila
dilewatkan. Biyuh biyuh.
Mengenal beliau membuat saya
mengerti arti kata ‘berjiwa muda’ dan ‘belajar
sepanjang hayat’. Terima kasih bu, karena anda saya bisa merasa malu dengan
diri saya yang pemalas, terima kasih
Allah karena berkenan mengenalkanku dengan sosok wanita yang luar biasa ini.
Selamat jalan Bu, Selamat jalan.
Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah Swt sesuai amal ibadahnya.
ReplyDeleteKetrampilan wanita sebaiknya dimiliki oleh wanita.
Salam hangat dari Surabaya
Saleum,
ReplyDeleteInnalillahi Wainnailaihi Raji'un. Semoga amal ibadahnya mendapat balasan yang setimpal dihadirat Allah Ta'ala. Aamiin.
@pakde : iya dhe...ketrampilan walau pun tidak digunakan untuk mencari nafkah tetap berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
ReplyDelete@dmilano : Amin3 makasi om atas doanya