Apa
sih yang membedakan kaum muda dulu dan sekarang? Sebenarnya kaum muda dulu dan
sekarang itu tidaklah berbeda, mereka sama-sama merasakan kegelisahan. Hanya
saja kegelisahan pemuda dulu disalurkan dengan membentuk Jong Java, Jong
Sumatera, dan Jong-Jong lainnya. Ya, kegelisahan mereka adalah bagaimana
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri. Dan membentuk wadah
yang tepat dengan kegiatan yang positif. Sehingga terlahirlah Sumpah Pemuda
yang kita kenal hingga saat ini.
Bagaimana
dengan kegelisahan pemuda saat ini? Kegelisahan pemuda saat ini justru lebih
kompleks, yang dikarenakan adanya ketidakpastian dalam bidang hukum, ekonomi,
dan sosial budaya yang dihadapi bangsa ini. Hanya saja mereka tidak menyalurkan
kegelisahannya dengan cara yang positif. Pemuda adalah makhluk yang dinamis,
tetapi dinamis yang kebablasan bisa mengarah ke anarkis. Kegelisahan dan
kekecewaan mereka diimplementasikan dengan tindakan yang tidak sepatutnya. Contohnya
tawuran.
Tawuran,
berasal dari kata tawur yang berarti perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal
(dari kamus bahasa Indonesia online). Kata itu sudah terdengar sejak dulu, dan
bertambah sering kita dengar akhir-akhir ini. Sekarang tawuran tidak hanya
terjadi di kota-kota besar, tapi sudah merambah ke kota kecil bahkan tingkat
desa. Pelakunya pun beragam, mulai dari pemakai seragam putih abu-abu, hingga
kaum intelek di kampus (baca: mahasiswa).
Bagaimana
cara mencegah dan menanggulangi tawuran?
“Jika
Anda bertanya bagaimana cara agar tawuran tidak terjadi lagi. Itu sama saja
dengan Anda menanyakan, Apakah korupsi di negeri ini bisa dihentikan.”
Itu
adalah sebagian dari obrolan yang pernah saya dengar di radio. Saya tertawa
perih mendengarnya. Sudah begitu sakitkah bangsa ini?
Tawuran
bukan lagi masalah bagi sekolah atau universitas tetapi sudah menjadi masalah
bangsa. Masalah kita bersama. Karena itu sudah sepantasnya kita sebagai warga negara
memberikan sumbangsih walau pun hanya sebentuk pendapat saja.
Dan
ini adalah pendapat saya, mengenai cara mencegah dan menanggulangi tawuran :
1.Mencari
Penyebabnya
Saya
sempat membaca di papan pengumuman di salah satu fakultas di Universitas
terkenal di Semarang, kira-kira bunyinya seperti ini : “Bertemu besok di tempat
biasa jam 7 malam. NB: BAWA SENJATA SECUKUPNYA!”
Konon
ceritanya, dua fakultas yang mayoritas penghuninya cowok tersebut sudah jadi
musuh bebuyutan sejak lama. Dan yang saya dengar tentang tawuran pelajar di
Jakarta, antar dua sekolah yang pelajarnya tawuran tersebut pun mempunyai kisah
yang sama.
Sudah
jadi musuh sejak dulu.
Sebenarnya
siapa yang sudah menanamkan bahwa “mereka saling bermusuhan”? Tidak mungkin
pihak sekolah/universitas yang mendoktrin mereka bukan? Kemungkinan terbesar ‘oknumnya’
adalah kakak kelas atau kakak tingkat mereka sendiri. Sehingga doktrin itu
menjadi sebuah pembenaran publik.
Ya,
mereka musuh kita. Kalau ketemu di jalan langsung sikat saja.
Mungkin
begitu yang ada dalam pikiran mereka. Dan ‘dendam’ itu diwariskan turun-temurun
secara berkesinambungan.
Solusinya adalah mata
rantai itu harus diputus.
Lalu,
siapa yang memiliki tanggung jawab sebagai si ‘pemutus’?
Kalau
menurut saya, yang paling mempunyai wewenang adalah pihak sekolah atau
universitas tersebut.
Membahas
bersama di satu meja, langkah-langkah apa yang bisa ditempuh untuk mendamaikan
kedua belah pihak. Ikut sertakan organisasi kepemudaan di masing-masing sekolah
atau fakultas, tidak lupa ‘gembong-gembongnya’ pun harus diajak serta. Saya yakin
pihak sekolah atau fakultas tahu benar siapa-siapa saja yang menjadi ‘pentolan’
dalam hal tawuran ini. Dengan begitu diharapkan, rantai ‘dendam’ hanya cukup
sampai disitu. Dan tidak ada lagi, kakak kelas atau kakak tingkat yang
memberikan pemahaman yang salah terhadap generasi di bawahnya.
Kita
tidak mau bukan jika geng-geng sekolah ini berkembang menjadi seperti yakuza di
Jepang atau mafia di Hongkong?
2.Mendidik
bukan Mengajar
September
lalu, ketika saya mendapat tugas monitoring tentang kurikulum ke sekolah-sekolah,
saya melihat fenomena yang menarik. Siswa yang duduk di Sekolah Dasar (SD)
cenderung memiliki sopan santun yang cukup baik. Pelajaran tentang budi pekerti
yang ditanamkan para guru diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan di sekolah.
Hal ini sangat berbeda ketika saya berkunjung ke sekolah menengah. Pelan tapi
pasti, sopan santun mulai memudar. Siswa-siswi mulai terlihat seenaknya, baik
dalam bertutur kata mau pun berperilaku. Bahkan pernah terjadi kasus di kantor saya
dengan siswa menengah yang magang karena sopan santun mereka yang minus. Entah kemana
sopan-santun yang mereka anut ketika di sekolah dasar.
Sekolah/universitas
adalah tempat untuk mendidik dan bukan hanya tempat untuk mengajar.
Sekolah/universitas
bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu tetapi juga bertugas mendidik karakter
para siswa/mahasiswa agar ilmu yang mereka dapat, bisa diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bagaimana
dengan siswa yang sudah ‘terlanjur’ bermasalah?
Jika
usia mereka di bawah 18 tahun, tentu saja mereka masih dalam peradilan anak.
Yang biasanya pembinaan dikembalikan ke sekolah dan orang tua. Peradilan umum tidak
bisa menyentuh mereka, disinilah diperlukan ketegasan dari sekolah membuat
peraturan dalam bentuk sanksi yang mendidik. Misalnya: kerja sosial di panti jompo
selama kurun waktu tertentu.
Pihak
pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, perlu
kiranya mulai membuat peraturan yang tegas mengenai hal ini, agar pihak sekolah
pun memiliki pijakan hukum yang pasti mengenai pemberian sanksi terhadap siswa
yang bermasalah.
3.Peranan
Orang Tua dan Lingkungan
Rumah
adalah sekolah pertama bagi anak-anak.
Sangat
disayangkan alih-alih mendidik anak-anak mereka, orang tua malah berpikiran
menyerahkan sepenuhnya tugas mendidik anak-anak mereka ke sekolah formal.
Sedangkan mereka sibuk mencari uang dengan dalih untuk masa depan anak. Dan ketika
anak-anak mereka bermasalah, semua kesalahan ditimpakan kepada pihak sekolah
dan pemerintah
Begitu
pula dengan lingkungan, saat ini organisasi kepemudaan seperti karang taruna
sudah tinggal nama. Tidak ada organisasi yang mewadahi para pemuda untuk
menyalurkan tenaga mereka yang seakan tak ada habisnya untuk kegiatan yang
positif.
Kepedulian
dan pengawasan dari orang tua serta lingkugan bersinergi dengan pendidikan
berkarakter kebangsaan yang diberikan di sekolah, akan membentuk dan menghasilkan
generasi penerus bangsa yang terbaik untuk negeri ini.
-----000-----
Kita
jangan sampai berkecil hati untuk menghadapi masalah tawuran ini. Harap diingat,
disamping pelajar dan mahasiswa yang tawuran, ada pemuda-pemuda lain yang
berprestasi tidak hanya di skala nasional tetapi juga di skala internasional. Mereka
mengharumkan nama bangsa ini.
Jika
masih ada Anda-anda yang perduli terhadap nasib bangsa ini, Saya yakin
keterpurukan bangsa ini dapat kita atasi bersama.
Mari
kita tingkatkan jumlah Anda-anda yang perduli!
Wahai
kaum muda jadilah pemuda dinamis yang berwawasan humanis! MERDEKA!
Artikel ini diikutsertakan pada
Kontes Unggulan Indonesia Bersatu:Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran
Terima kasih atas partisipasi sahabat.
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
Sama2 Pakde
DeleteUniversitas apa ituh di Semarang yg ky gitu mba? serem banget, PM me ya :p
ReplyDeleteWow! Artikelnya keren, mbak. Fokus. Aih.. dari tidak pede jadi minder
ReplyDeleteIya aku juga penasaran neh, jangan2 almamaterku hehehe...semoga bukan. Sayangnya, mengajar sekaligus mendidik sangatlah berat Mbak Esti, dibutuhkan kemampuan menguasai materi dan keikhlasan/kesabarran menghadapi anak2. Memang keluarga sangat berperan membentuk karakter anak agar tidak gampang diombang-ambingkan dunia luar. Yuk kita optimis dan semoga 'budaya' tawuran ini segera terkikis dan lama-lama hilang dari bumi nusantara....jiahhhh :)
ReplyDeleteSemoga berjaya di kontes Pakdhe.
Keren Mba. Terstruktur dan fokus soluui yang dikemukakan. *banyak belajar*
ReplyDeleteKegelisahan yang dirasakan kaum muda emang berlipat-lipat Mba ya. Sayang kalo pelampiasannya salah.
Semoga sukses untuk kontesnya Mba.. :)
Iya Mbak Esti yg memutus mata rantai kekerasan itu harus lembaga yg berwenang..Mereka punya semua resources soalnya...
ReplyDeletesemoga banayaknya peserta yg ikut kontes mampu memberikan sumbangan saran utk bs menghapus tawuran ya
ReplyDeleteharus kesadaran diri sendiri juga ya mbak supaya tawuran ini bisa dihentikan
ReplyDeleteSaya besar dan sekolah d kota kecil yang jauh dari ibu kota. Jangankan d jakarta, d kota saya saja ada juga yang namanya "dendam yang diturunkan" itu. Miris!
ReplyDeleteSemoga cukup sampai d sini semua ini, jangan lagi d wariskan ke generasi selanjutnya. Mau jadi apa bangsa kita nantinya kalau begini terus....
tulisan yang mencerahkan. :)
ReplyDeletenice posting,
http://damai.malhikdua.com
orang tua itu pentng buat tumbuh kembang anak yaa mbak esti :D
ReplyDeleteAkhirnya ikutan juga :D
dinamis yg humanis? keren sekali itu mba *jempol*
ReplyDeletegudlak ngontesnya yaa^^
lembaga pendidikan memang sangat berperan. sayang sekali muatan membentuk karakter kalau diabaikan
ReplyDeletemencoba komen pake blogspotku :D
ReplyDeletekomen diterima, silakan lanjutkan :D hehe
DeleteMendidik, bukan mengajar. Ya, sungguh ini penting sekali. Semoga sukses ngontesnya ya, Mbak Esti.
ReplyDelete--ini coba komen, semoga berhasil ya, Mbak. Habis ini, coba Mbak Esti komen di blog saya, kira2 bisa ga ya?
Tawuran terusssss...109 artikel mencegah tawuran sudah digelar..eh tawuran jalan terus deh
ReplyDeleteSalam hangat dari Yogyakarta
Di LPMP pasti nggak pernah ada tawuran, karena yg datang kesitu nggak punya bakat tawuran...
ReplyDeletesemoga menang kontes yah
ReplyDeletesemoga menang salam hangat dari mas opick
ReplyDeleteJuga Perlunya pendalaman agama yang intens...
ReplyDeleteSukses buat kontesnya, Mbak..
Rata-rata tawuran tuh hanya krn maslah sepele aja yaa...
ReplyDeletenah itulah, dulu ketika SD, anak-anak diajari budi pekerti sopan santun dan semua hal yang hubungan dengan toleransi namun menginjak sekolah menengah tingkat pertama dan dilanjutkan dengan tingakat atas maka yang terjadi adalah? amburadul, ntah yang salah dimana saya sendiri juga tidak habis pikir terhadap maslaah yang satu ini heeemmmm
ReplyDeleteini kayaknya lama deh jeng
ReplyDeleteKata orang, tawuran itu tidak baik dan memang tidak baik. Beberapa waktu dulu saya pernah membuktikan bahwa tawuran sangat sangat sangat tidak baik, kecuali tawuran makan kerupuk. Posting ajib. Sukses teman!
ReplyDelete