“Kasih Ibu Sepanjang Jalan” sering kali saya dengar tentang
perumpamaan itu. Ketika usia remaja sepertinya hal tersebut jauh dari nalar
saya. Saat itu saya beranggapan, Ibu adalah makhluk paling cerewet dan pengatur
sedunia. Ini gak boleh, itu gak boleh, harus begini dan harus begitu. Duh,
capeknya. Pengen banget bisa keluar dari rumah, selain ingin mandiri tentu saja
lepas dari semua aturan tidak tertulis dari Ibu.
Impian keluar dari rumah terwujud setelah 3 tahun bekerja,
karena intensitas pekerjaan yang padat dan mengharuskan lembur hingga malam
hari, sedangkan jarak antara rumah dan kantor cukup jauh, sehingga diputuskan
saya tinggal di rumah yang memang lebih dekat dengan kantor. Saya ditemani oleh
sepupu pada awalnya.
Keluar dari rumah
Awal hidup terpisah dari Ibu, wow nikmat sekali rasanya. Lepas dari semua hal yang berbau perintah dan bisa melakukan apa pun sekehendak hati. Mau molor setelah subuhan, gak ada yang ngelarang, mau gak beberes rumah seharian, gak ada yang ribut. Pokoknya asik banget deh.
Keluar dari rumah
Awal hidup terpisah dari Ibu, wow nikmat sekali rasanya. Lepas dari semua hal yang berbau perintah dan bisa melakukan apa pun sekehendak hati. Mau molor setelah subuhan, gak ada yang ngelarang, mau gak beberes rumah seharian, gak ada yang ribut. Pokoknya asik banget deh.
Kalau saya hepi bukan kepalang karena sudah ‘sukses’ keluar
dari rumah, sebaliknya Ibu seperti merasa kehilangan sekali. Sejak kepindahan
saya, pagi dan sore Ibu akan menelpon walau Cuma bertanya, “Sudah makan, Mbak?”
Ah, kadang hanya sekadar menerima telepon pun saya enggan, “Pasti deh ditanya
macam-macam” pikir saya ketika itu. Saya masih pulang ke rumah orang tua setiap hari Sabtu dan
Minggu. Akan tetapi bila ada keperluan, saya minta ijin tidak pulang.
Sekitar 3 bulan merasakan hidup mandiri, entah bagaimana
saya mulai merasakan kehilangan suasana rumah yang dulu ingin sekali saya ‘tinggalkan’.
Tiba-tiba saya merasa kesepian. Biasanya setiap pagi akan terdengar suara Ibu
yang mengingatkan untuk menyegerakan solat dan kemudian berbelanja, dan masih
disusul dengan kesibukan di dapur setelah itu. Baru kemudian bersiap ke kantor.
Tiba-tiba saya merindukan sambal buatan Ibu, serta terkenang bubur candil yang
sering saya minta untuk dibuatkan dan
dengan segera dibuatkan Ibu saat itu juga. Tiba-tiba saya merindukan bau tubuh
Ibu yang selalu mendekat ketika saya sedang tidur siang dan saya selalu
menggerutu karenanya. Ah, tapi saya masih terlalu gengsi untukmengakui bahwa
saya merindukan Ibu. Toh, kalau saya pulang ke rumah Ibu masih saja dengan
semua ‘peraturannya’.
Ketika menikah
Ketika menikah
Setelah menikah dengan Pak Budhi, intensitas pertemuan saya
dengan Ibu dan Bapak semakin berkurang. Hari Minggu semakin banyak acara, entah
kondangan atau sekadar kumpul dengan teman-teman. Terkadang saya membuat-buat
alasan agar tidak perlu ke rumah orang tua dan menggantinya dengan acara berdua
saja. Dan selama itu Ibu tetap saja menelpon dan bertanya, “Nanti ke rumah kan,
Nduk?” Walau kadang hanya penolakan secara halus yang saya sampaikan.
Menjadi seorang istri dan menantu membuat saya mulai belajar
banyak hal baru. Orang yang dulu asing bagi saya, sekarang menjadi bagian terdekat
dalam hidup saya. Apakah dengan datangnya orang-orang baru itu membuat jarak
antara saya dan Ibu semakin jauh? Tidak sama sekali. Semakin saya banyak
mengenal orang, semakin saya merasa Ibu adalah yang terbaik dalam hal
melimpahkan kasih sayang. Dengan ‘aturan-aturannya’,saya bisa mengerti bagaimana
harus bersikap terhadap mertua dan keluarga baru saya, dengan didikan keras
harus belajar masak dan mengurus rumah sejak usia sekolah dasar, saya tahu
bagaimana harus meladeni suami dan merencanakan perencanaan keuangan keluarga
kecil saya, dengan sifat disiplin akan waktu, saya bisa menghargai waktu dengan
cara yang efektif dan efisien di kantor dengan status baru sebagai istri, dan
masih banyak lagi ‘peraturan’ yang dulu membuat saya sesak nafas karenanya dan
sekarang saya merasakan manfaatnya.
Ketika menjadi calon Ibu
Saat ini saya sedang mengandung dan menginjak usia kandungan 6,5 bulan. Awal kehamilan saya merasakan gejala kehamilan yang dirasakan hampir semua wanita hamil, pusing, mual dan muntah tak terkendali. Kalau muntah, saya sering menangis memikirkan akan kesehatan janin yang ada di dalam kandungan yang belum makan dari pagi. Sedangkan saya sendiri merasakan badan lemas dan lapar yang luar biasa. Di saat seperti itu, orang pertama yang saya ingat adalah Ibu. Saya akan menelepon Ibu dan berkeluh-kesah akan keadaan saya, Ibu hanya berkata,”Tapi kamu masih bisa makan kan? Gak apa-apa, dulu malah Ibu minum air putih aja muntah waktu hamilkamu,banyak-banyak berdoa ya, Ibu akan selalu mendoakan supaya kamu dan cucu Ibu selalu sehat.”
Saya terhenyak, ya saya memang masih bisa makan nasi satu
hari satu kali, buah juga selalu masuk, vitamin dari dokter masih tertelan. Saya
tidak bisa membayangkan Ibu dulu ketika mengandung saya sama sekali tidak bisa
makan. Ya Allah betapa banyak dosa saya terhadap Ibu, kelebatan gerutuan dan
sungutan terhadap semua ‘perintah’ Ibu datang silih berganti, belum lagi
kata-kata yang mungkin sering membuat Ibu dan Bapak sakit hati.
Saat ini yang paling saya sukai adalah ke dokter dan melihat
janin saya di layar alat USG dokter, walau bentuknya belum sempurna, bahkan
dokter mengatakannya seperti alien (ish..pak dokter) saya selalu rindu ingin
melihatnya atau sekadar mendengar detak jantungnya. Ketika kehamilan semakin besar, saya menanti
gerakan-gerakannya yang menendang perut saya, jika dia sedang ‘bobok’ kadang
saya elus-elus biar ‘bangun’ dan ‘menendang’ lagi. Karena kalau terlalu anteng
saya jadi sedikit was-was.
Ah, jadi begini ya rasanya, pantas saja Ibu selalu bertanya.
“Sudah makan? Kamu sehat, kan?” Bahkan janin yang baru saya rasai gerakannya
saja sudah saya khawatirkan sedemikian rupa, tak henti saya berdoa agar bayi
saya selalu sehat di dalam kandungan dan lahir dengan sehat pula.
Tak bisa saya bayangkan bagaimana sakitnya hati Ibu ketika
saya membantahnya dan bersuara keras, apa yang dia rasakan ketika anaknya ini
mulai tampak tidak lagi membutuhkannya, semakin saya mengingat semakin banyak
kesalahan yang telah saya lakukan, dan semakin banyak pemaafan yang telah Ibu
berikan. Ya, rasa maafnya seakan tak bertepi, kesabarannya tak pernah kehabisan
stok, dan kasihnya akan selalu ada.
Ketika menjadi Ibu
Bukan ingin memuji diri sendiri tapi bisa saya katakan
berkat didikan Ibu dan Bapak, saya dan dua orang adik saya bisa menjadi kami
yang sekarang. Cukup bisa dikatakan sebagai orang yang baik di mata masyarakat.
Dan pertanyaan yang bergelayut di batin saya, “Bisakah saya mendidik anak-anak
saya menjadi orang yang baik? Sanggupkah saya menjadi Ibu yang baik bagi mereka?
Apakah saya memiliki stok sabar yang sama dengan Ibu saya?”
Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kesuksesan
tertinggi menjadi orang tua adalah mengantarkan anak menjadi pribadi yang
mandiri, baik dalam hal beragama dan berumah tangga serta bermasyarakat. Dan
jalan saya menuju itu masih sangat panjang. Semoga saya pun bisa meraih
kesuksesan sebagai seorang Ibu, sama seperti capaian Ibu saya tercinta. Aamiin.
Saya dulu langsung merasakan kehilangan begitu pertama ngekos mba Esti. Hihihi. Katena sudah kebiasaan bantu-bantu di toko jadinya langsung kangen begitu harus tinggal sendiri. Tapi memang semakin kita dewasa semakin merasakan manfaat dari apa yang diterapkan orangtua tapi sayangnya waktu ketemu orang tua semakin susah dapetnya. Jadi sibuk sama urusan masing-masing. Semoga orang
ReplyDeletedidikan ortu emang berpengaruh ke kita sendiri ya mbak...jadi ortu emang is the best ya sampai kita juga bisa mendidik anak2 kita :)
ReplyDeleteTerima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
ReplyDeleteSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
ibu ... cuma inget aja kata itu ... gue udah nyesek!
ReplyDeleteNulis tentang Ibu, mberebes mili aku mbak.
ReplyDeleteSemoga stok kesabarannya melebihi Ibu mbak Esti.
Salam hormat untuk Ibu, dan keluarga mbak Esti semoga selalu diberikan kesehatan.
bisa memahami skrg setelah jadi Ibu ya mba
ReplyDeleteSetelah melalui apa-apa yang dirasakan menjadi ibu, ternyata begitu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh ibu kepada kita.
ReplyDeletesama, Mak. Pas saya melahirkan, yang teringat itu mamah :)
ReplyDeleteIbu akan sellau menjadi sosok tak terwakili utk diuraikan ya MBak.
ReplyDeleteSelamat mbak, sdh bisa mengikuti event prestsius ini. Saya yg nyesek krn telat posting..Hiks
ibu is may spirit, ibu is my life, i love you forever,,,,
ReplyDeleteibu adalh manusia tersabar didunia ini.
ReplyDeleteibu ibu ibu namanya disebut 3 kali dalam hadis, betapa ulianya ibu.
ReplyDeleteibu is my life
ReplyDeleteIbu akan sellau menjadi sosok tak terwakili utk diuraikan ya MBak
ReplyDeletecuma bisa berkaca-kaca saat membicarakan tentang Ibu
ReplyDeleteI Love you Ibu..
ReplyDeletekita tak mungkin bisa membalas jasa ibu, tapi kita bisa menghadiahkan surga padanya dengan menjadi anak yang soleh/solekhah..
ReplyDeletekita tak mungkin bisa membalas jasa ibu, tapi kita bisa menghadiahkan surga padanya dengan menjadi anak yang soleh/solekhah..
ReplyDeleteAssalamualaikum mba terharu sekali membacanya :')
ReplyDeleteSama-sama kontribusi di buku HISS :). Senangnya bisa main-main ke blog cantik pinky ini :)
Main-main ke blog ku ya Mba www.fennysugih.com