3 Dec 2014

Kasih Itu Kusebut Ibu


“Kasih Ibu Sepanjang Jalan” sering kali saya dengar tentang perumpamaan itu. Ketika usia remaja sepertinya hal tersebut jauh dari nalar saya. Saat itu saya beranggapan, Ibu adalah makhluk paling cerewet dan pengatur sedunia. Ini gak boleh, itu gak boleh, harus begini dan harus begitu. Duh, capeknya. Pengen banget bisa keluar dari rumah, selain ingin mandiri tentu saja lepas dari semua aturan tidak tertulis dari Ibu.
Impian keluar dari rumah terwujud setelah 3 tahun bekerja, karena intensitas pekerjaan yang padat dan mengharuskan lembur hingga malam hari, sedangkan jarak antara rumah dan kantor cukup jauh, sehingga diputuskan saya tinggal di rumah yang memang lebih dekat dengan kantor. Saya ditemani oleh sepupu pada awalnya.
Keluar dari rumah

Awal hidup terpisah dari Ibu, wow nikmat sekali rasanya. Lepas dari semua hal yang berbau perintah dan bisa melakukan apa pun sekehendak hati. Mau molor setelah subuhan, gak ada yang ngelarang, mau gak beberes rumah seharian, gak ada yang ribut. Pokoknya asik banget deh.
Kalau saya hepi bukan kepalang karena sudah ‘sukses’ keluar dari rumah, sebaliknya Ibu seperti merasa kehilangan sekali. Sejak kepindahan saya, pagi dan sore Ibu akan menelpon walau Cuma bertanya, “Sudah makan, Mbak?” Ah, kadang hanya sekadar menerima telepon pun saya enggan, “Pasti deh ditanya macam-macam” pikir saya ketika itu. Saya masih pulang ke rumah orang tua setiap hari Sabtu dan Minggu. Akan tetapi bila ada keperluan, saya minta ijin tidak pulang. 

Sekitar 3 bulan merasakan hidup mandiri, entah bagaimana saya mulai merasakan kehilangan suasana rumah yang dulu ingin sekali saya ‘tinggalkan’. Tiba-tiba saya merasa kesepian. Biasanya setiap pagi akan terdengar suara Ibu yang mengingatkan untuk menyegerakan solat dan kemudian berbelanja, dan masih disusul dengan kesibukan di dapur setelah itu. Baru kemudian bersiap ke kantor. Tiba-tiba saya merindukan sambal buatan Ibu, serta terkenang bubur candil yang sering saya minta  untuk dibuatkan dan dengan segera dibuatkan Ibu saat itu juga. Tiba-tiba saya merindukan bau tubuh Ibu yang selalu mendekat ketika saya sedang tidur siang dan saya selalu menggerutu karenanya. Ah, tapi saya masih terlalu gengsi untukmengakui bahwa saya merindukan Ibu. Toh, kalau saya pulang ke rumah Ibu masih saja dengan semua ‘peraturannya’.

Ketika menikah

Setelah menikah dengan Pak Budhi, intensitas pertemuan saya dengan Ibu dan Bapak semakin berkurang. Hari Minggu semakin banyak acara, entah kondangan atau sekadar kumpul dengan teman-teman. Terkadang saya membuat-buat alasan agar tidak perlu ke rumah orang tua dan menggantinya dengan acara berdua saja. Dan selama itu Ibu tetap saja menelpon dan bertanya, “Nanti ke rumah kan, Nduk?” Walau kadang hanya penolakan secara halus yang saya sampaikan.

Menjadi seorang istri dan menantu membuat saya mulai belajar banyak hal baru. Orang yang dulu asing bagi saya, sekarang menjadi bagian terdekat dalam hidup saya. Apakah dengan datangnya orang-orang baru itu membuat jarak antara saya dan Ibu semakin jauh? Tidak sama sekali. Semakin saya banyak mengenal orang, semakin saya merasa Ibu adalah yang terbaik dalam hal melimpahkan kasih sayang. Dengan ‘aturan-aturannya’,saya bisa mengerti bagaimana harus bersikap terhadap mertua dan keluarga baru saya, dengan didikan keras harus belajar masak dan mengurus rumah sejak usia sekolah dasar, saya tahu bagaimana harus meladeni suami dan merencanakan perencanaan keuangan keluarga kecil saya, dengan sifat disiplin akan waktu, saya bisa menghargai waktu dengan cara yang efektif dan efisien di kantor dengan status baru sebagai istri, dan masih banyak lagi ‘peraturan’ yang dulu membuat saya sesak nafas karenanya dan sekarang saya merasakan manfaatnya.

Ketika menjadi calon Ibu

Saat ini saya sedang mengandung dan menginjak usia kandungan 6,5 bulan. Awal kehamilan saya merasakan gejala kehamilan yang dirasakan hampir semua wanita hamil, pusing, mual dan muntah tak terkendali. Kalau muntah, saya sering menangis memikirkan akan kesehatan janin yang ada di dalam kandungan yang belum makan dari pagi. Sedangkan saya sendiri merasakan badan lemas dan lapar yang luar biasa. Di saat seperti itu, orang pertama yang saya ingat adalah Ibu. Saya akan menelepon Ibu dan berkeluh-kesah akan keadaan saya, Ibu hanya berkata,”Tapi kamu masih bisa makan kan? Gak apa-apa, dulu malah Ibu minum air putih aja muntah waktu hamilkamu,banyak-banyak berdoa ya, Ibu akan selalu mendoakan supaya kamu dan cucu Ibu selalu sehat.”

Saya terhenyak, ya saya memang masih bisa makan nasi satu hari satu kali, buah juga selalu masuk, vitamin dari dokter masih tertelan. Saya tidak bisa membayangkan Ibu dulu ketika mengandung saya sama sekali tidak bisa makan. Ya Allah betapa banyak dosa saya terhadap Ibu, kelebatan gerutuan dan sungutan terhadap semua ‘perintah’ Ibu datang silih berganti, belum lagi kata-kata yang mungkin sering membuat Ibu dan Bapak sakit hati.

Saat ini yang paling saya sukai adalah ke dokter dan melihat janin saya di layar alat USG dokter, walau bentuknya belum sempurna, bahkan dokter mengatakannya seperti alien (ish..pak dokter) saya selalu rindu ingin melihatnya atau sekadar mendengar detak jantungnya.  Ketika kehamilan semakin besar, saya menanti gerakan-gerakannya yang menendang perut saya, jika dia sedang ‘bobok’ kadang saya elus-elus biar ‘bangun’ dan ‘menendang’ lagi. Karena kalau terlalu anteng saya jadi sedikit was-was.

Ah, jadi begini ya rasanya, pantas saja Ibu selalu bertanya. “Sudah makan? Kamu sehat, kan?” Bahkan janin yang baru saya rasai gerakannya saja sudah saya khawatirkan sedemikian rupa, tak henti saya berdoa agar bayi saya selalu sehat di dalam kandungan dan lahir dengan sehat pula. 

Tak bisa saya bayangkan bagaimana sakitnya hati Ibu ketika saya membantahnya dan bersuara keras, apa yang dia rasakan ketika anaknya ini mulai tampak tidak lagi membutuhkannya, semakin saya mengingat semakin banyak kesalahan yang telah saya lakukan, dan semakin banyak pemaafan yang telah Ibu berikan. Ya, rasa maafnya seakan tak bertepi, kesabarannya tak pernah kehabisan stok, dan kasihnya akan selalu ada. 

Ketika menjadi Ibu

Bukan ingin memuji diri sendiri tapi bisa saya katakan berkat didikan Ibu dan Bapak, saya dan dua orang adik saya bisa menjadi kami yang sekarang. Cukup bisa dikatakan sebagai orang yang baik di mata masyarakat. Dan pertanyaan yang bergelayut di batin saya, “Bisakah saya mendidik anak-anak saya menjadi orang yang baik? Sanggupkah saya menjadi Ibu yang baik bagi mereka? Apakah saya memiliki stok sabar yang sama dengan Ibu saya?”

Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kesuksesan tertinggi menjadi orang tua adalah mengantarkan anak menjadi pribadi yang mandiri, baik dalam hal beragama dan berumah tangga serta bermasyarakat. Dan jalan saya menuju itu masih sangat panjang. Semoga saya pun bisa meraih kesuksesan sebagai seorang Ibu, sama seperti capaian Ibu saya tercinta. Aamiin.

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera

19 comments:

  1. Saya dulu langsung merasakan kehilangan begitu pertama ngekos mba Esti. Hihihi. Katena sudah kebiasaan bantu-bantu di toko jadinya langsung kangen begitu harus tinggal sendiri. Tapi memang semakin kita dewasa semakin merasakan manfaat dari apa yang diterapkan orangtua tapi sayangnya waktu ketemu orang tua semakin susah dapetnya. Jadi sibuk sama urusan masing-masing. Semoga orang

    ReplyDelete
  2. didikan ortu emang berpengaruh ke kita sendiri ya mbak...jadi ortu emang is the best ya sampai kita juga bisa mendidik anak2 kita :)

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  4. ibu ... cuma inget aja kata itu ... gue udah nyesek!

    ReplyDelete
  5. Nulis tentang Ibu, mberebes mili aku mbak.
    Semoga stok kesabarannya melebihi Ibu mbak Esti.
    Salam hormat untuk Ibu, dan keluarga mbak Esti semoga selalu diberikan kesehatan.

    ReplyDelete
  6. bisa memahami skrg setelah jadi Ibu ya mba

    ReplyDelete
  7. Setelah melalui apa-apa yang dirasakan menjadi ibu, ternyata begitu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh ibu kepada kita.

    ReplyDelete
  8. sama, Mak. Pas saya melahirkan, yang teringat itu mamah :)

    ReplyDelete
  9. Ibu akan sellau menjadi sosok tak terwakili utk diuraikan ya MBak.

    Selamat mbak, sdh bisa mengikuti event prestsius ini. Saya yg nyesek krn telat posting..Hiks

    ReplyDelete
  10. ibu is may spirit, ibu is my life, i love you forever,,,,

    ReplyDelete
  11. ibu adalh manusia tersabar didunia ini.

    ReplyDelete
  12. ibu ibu ibu namanya disebut 3 kali dalam hadis, betapa ulianya ibu.

    ReplyDelete
  13. Ibu akan sellau menjadi sosok tak terwakili utk diuraikan ya MBak

    ReplyDelete
  14. cuma bisa berkaca-kaca saat membicarakan tentang Ibu

    ReplyDelete
  15. kita tak mungkin bisa membalas jasa ibu, tapi kita bisa menghadiahkan surga padanya dengan menjadi anak yang soleh/solekhah..

    ReplyDelete
  16. kita tak mungkin bisa membalas jasa ibu, tapi kita bisa menghadiahkan surga padanya dengan menjadi anak yang soleh/solekhah..

    ReplyDelete
  17. Assalamualaikum mba terharu sekali membacanya :')
    Sama-sama kontribusi di buku HISS :). Senangnya bisa main-main ke blog cantik pinky ini :)

    Main-main ke blog ku ya Mba www.fennysugih.com

    ReplyDelete

Terima kasih sudah meninggalkan komentar ^_^